Dana Desa untuk Pangan Masih Rawan Disimpangkan, Formades Minta Aparat Tak Tutup Mata

LIPUTAN 3

- Redaksi

Kamis, 24 Juli 2025 - 14:07 WIB

50413 views
facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Aceh Tenggara — Ketahanan pangan desa bukan lagi slogan kosong atau program seremonial yang berhenti pada baliho dan plang proyek. Di Aceh Tenggara, sebuah komitmen serius digaungkan oleh Forum Membangun Desa (Formades), yang menegaskan bahwa Dana Desa harus menjadi alat nyata dalam memperkuat kemandirian pangan dan kesejahteraan masyarakat desa.

Pernyataan itu datang dari Muhammad Masir, ST, Ketua Formades Aceh Tenggara, yang secara tegas menyuarakan sikap organisasi dalam mengawal setiap rupiah Dana Desa, khususnya yang dialokasikan untuk program ketahanan pangan. Di tengah berbagai temuan penyimpangan anggaran di tingkat desa yang kerap mencuat di sejumlah daerah, sikap ini menjadi angin segar sekaligus peringatan dini bagi pemerintahan desa agar tidak bermain-main dengan dana publik.

Masir menegaskan bahwa pijakan hukum sudah sangat jelas. Permendes Nomor 2 Tahun 2024 bahkan secara eksplisit mewajibkan pemerintah desa mengalokasikan minimal 20 persen Dana Desa untuk sektor ketahanan pangan. Hal itu diperkuat lagi dengan Keputusan Menteri Desa Nomor 3 Tahun 2025, yang memberikan panduan teknis, termasuk jenis kegiatan dan sasaran penggunaan anggaran, dengan satu tujuan: desa tak lagi bergantung pada pasokan dari luar.

ADVERTISEMENT

banner 300x250

SCROLL TO RESUME CONTENT

Namun, bagi Formades, regulasi bukan sekadar aturan yang tertulis, melainkan tanggung jawab yang harus dikawal bersama. “Ketahanan pangan tidak boleh berhenti pada laporan administrasi atau hasil audit internal. Harus ada pengawasan nyata dari berbagai elemen masyarakat—kepolisian, LSM, media, hingga masyarakat sipil,” ujar Masir pada Selasa, 23 Juli 2025.

Pernyataan ini menyiratkan bahwa problem utama bukan pada ketiadaan anggaran atau kebijakan, melainkan lemahnya pelaksanaan dan minimnya pengawasan publik. Dalam banyak kasus, anggaran ketahanan pangan di desa terserap tanpa menghasilkan dampak riil bagi warga. Lahan pertanian dibiarkan terbengkalai, kelompok tani fiktif dibentuk demi pencairan dana, dan proyek pengadaan bibit atau alat pertanian kadang hanya berhenti di nota pembelian.

Masir menilai bahwa jika desa serius ingin keluar dari krisis pangan dan kemiskinan struktural, maka pengelolaan Dana Desa harus dirombak secara etis, bukan hanya administratif. “Dana Desa bukan hibah politik, tapi amanah rakyat. Penggunannya harus mencerminkan kebutuhan nyata dan menyentuh petani sebagai garda terdepan produksi pangan,” ujarnya tegas.

Lebih jauh, ia menyebut bahwa agenda swasembada pangan desa bukan hal mustahil. Dengan pengelolaan yang tepat, Dana Desa bisa digunakan untuk membangun lumbung pangan desa, memperkuat irigasi sawah, mendukung peternakan rakyat, hingga pengadaan pupuk dan alat produksi murah. Namun semuanya hanya bisa berjalan bila tata kelola dilakukan secara transparan dan akuntabel, tanpa ‘kongkalikong’ antara elite desa dan pihak ketiga.

Formades juga menyerukan agar pemerintah daerah, melalui dinas terkait, aktif memfasilitasi pelatihan dan pendampingan teknis kepada aparat desa. Sebab, salah satu persoalan krusial adalah kurangnya kapasitas perencanaan dan pengawasan dalam struktur desa. Banyak kepala desa, menurut Masir, hanya menjalankan program karena kewajiban, bukan karena pemahaman substansi atas pentingnya ketahanan pangan.

Komitmen Formades ini pun dinilai sebagai bentuk intervensi sipil yang mulai berani menyasar titik rawan penyimpangan anggaran desa. Di tengah gelombang reformasi tata kelola keuangan desa yang digulirkan sejak program Dana Desa diluncurkan pada 2015, masih banyak laporan penyimpangan, manipulasi data, hingga pemanfaatan anggaran untuk kepentingan politik lokal. Dalam konteks itulah, peran Formades menjadi penting sebagai pengawas partisipatif.

“Ini bukan soal mencurigai atau mencari-cari kesalahan aparat desa. Ini soal menjaga kepercayaan publik terhadap anggaran negara. Ketahanan pangan hanya akan terwujud kalau keuangannya bersih, pelaksanaannya jujur, dan pengawasannya terbuka,” pungkas Masir.

Di tengah tantangan global seperti krisis iklim, fluktuasi harga pangan, dan menurunnya minat generasi muda terhadap pertanian, langkah Formades ini bisa menjadi fondasi penting untuk membangun kedaulatan pangan dari akar rumput. Aceh Tenggara bisa menjadi contoh, bukan karena dana yang besar, tetapi karena keberanian untuk menjaga amanah rakyat sampai ke petani paling pinggir.

Karena pada akhirnya, ketahanan pangan tidak hanya soal menanam dan memanen, tetapi tentang siapa yang menguasai benih, siapa yang mengendalikan anggaran, dan siapa yang benar-benar berdiri bersama petani. (RED)

Berita Terkait

Pihak Desa Tegas: Jalan Rabat Beton Lawe Mantik Sudah Masuk APBK 2025 dan Dilaksanakan Sesuai RAB
LSM LIRA Soroti Dugaan “Main Mata” Oknum Polisi dengan Bandar Narkoba di Aceh Tenggara
Dua Lokasi di Aceh Tenggara Jadi Titik Awal Pembangunan Gerai Koperasi Desa Merah Putih
Satresnarkoba Ringkus Perempuan di Agara, Sabu Disimpan dalam Dompet
Rp31 Miliar Dana Kesehatan Tak Jelas Rimbanya, Kejaksaan Aceh Tenggara Didesak Berani Membuka Penyelidikan
Pemerintah Desa Kuta Buluh Gelar Musyawarah Dusun dan Salurkan BLT Tahap IV Secara Transparan
Ketua LSM PPKMA Kecam Isu Liar Terhadap Kepala Sekolah, Sebut Isu Pendidikan Jangan Jadi Alat Politik Murahan
APBN Rp 411 Juta Mengalir ke SD Negeri Lawe Bekung, Tapi Pekerja Dibiarkan Bertaruh Nyawa—Siapa Bertanggung Jawab?

Berita Terkait

Selasa, 23 September 2025 - 17:23 WIB

EWC IV Tingkat Nasional 2025: Ajang Literasi Akademik Mahasiswa Kembali Digelar

Kamis, 12 Juni 2025 - 15:33 WIB

PT MGK Jadi Ancaman Hukum dan Lingkungan, Presma UTU Serukan Tindakan Tegas Polda Aceh

Kamis, 20 Maret 2025 - 22:36 WIB

Arhammar Ridha Resmi Maju Sebagai Calon Ketua DPD PAN Aceh Barat Periode 2025-2030

Berita Terbaru